Saturday, August 29, 2009

Memahami sebelum dipahami

Janjinya sih kami mau berangkat jam 7.30. Tetapi Jim dan Tony baru tiba jam 8. Dan waktu setengah jam menunggu mereka saya pergunakan untuk mengetik selembar 'Kesepakatan Jual Beli" yang tadinya saya anggap cukup dengan tulis tangan. Segera kami ke ATM untuk mengambil 'uang tanda jadi' untuk Pak Ijong.

Selanjutnya tentu saja sarapan pagi. Saya seharusnya berterimakasih kepada Jim, Tony dan Willy. Kalau bukan karena mereka mana mungkin saya sarapan pagi.. Thx ya Bros. Kan En..Kan En.. Kami makan mie di Duta Mas (apa ya nama tempat itu??), dan ternyata mienya mereka siapkan dari cabang mereka yang di dalam pasar Duta mas....Ckck..lama amat tunggunya. Untung bukan nunggu taoge dari kampung kasih numbuh dulu.. Ckckck..
Sambil menunggu mie, saya nelpon Kuang Hui untuk minta maaf bahwa kami terlambat.
Dan ternyata saya tidak perlu minta maaf. Karena sebelum sempat bicara Hui nanya, "sudah sampai di mana?" Merasa bersalah saya jawab,"Masih nunggu mie." Tetapi sebelum saya sempat bicara lebih lanjut, Hui bilang,"Saya ga bisa ikut, dapat panggilan, dua kantor cabang........ (terlalu sering dia menghadapi permasalahan seperti ini, sehingga tidak perlu kita ingat, bisa makin cepat saya pikun mengingat apa yang dia katakan)... ". Kesimpulannya kami akan berangkat tanpa dia. Dan akhirnya...... mie tiba. Dan akhirnya makan... Dan akhirnya berangkat.

Ada beberapa tujuan yang mau dicapai hari ini..
1. Jim belum pernah ke Ciapus sebelumnya. Dia harus dipastikan menjadi bagian dari team inti. Menjadi board of founder bagi "Kampung Kasih Ciapus". Jika Jim selesai hanya tinggal meyakinkan Siong dan Wrendy.
2. Mempelajari lereng timur dari Gn Salak, karena jika melihat dari Google Map kelihatannya seluruh lereng timur Gunung Salak penuh dengan aliran anak2 sungai.
3. Memahami jalan alternatif ke lokasi.
4. Mengunjung Pura Parahyangan Agung Jagad dan Ciapus Myogyo Ji
5. Kalo masih sempat, akan mengunjungi salah satu curug terdekat, atau tempat perkemahan Gunung Bunder untuk memahami daya jual pariwisata.
6. Last but the most important, mencapai kesepakatan dengan Pak Ijong.
Oooops.. banyak sekali ya (ternyata saya selamanya serakah). Ntah berapa yang akan terlaksana.

Memasuki Batu Tulis, saya minta Willy mengambil tikungan tajam ke kiri, arah Cijeruk. Di pertigaan kami meminta pendapat dari dua orang bapak yang lagi nongkrong. Walau kedua bapak telah geleng-geleng kepala tidak menganjurkan kami mengambil jalan melalui Cijeruk, saya tetap keras kepala mengatakan "terima kasih, saya ingin tahu bagaimana keadaan jalannya."
Kata orang 'malu bertanya sesat dijalan'. Saya 'rajin bertanya tetap saja sesat'. Nah inilah yang terjadi kalo ngikutin GPS (Global Positioning System) yang telat mulu. Perjalanan yang harusnya tidak lebih 40 menit menjadi 2 kali lipat. Tapi yang penting kami jadi paham, jalan dari sisi ini tidak lebih baik, terlalu banyak anak sungai, terlalu terjal. FYI, banyak anak sungai sama artinya dengan harus turun hingga ke sungai, nyeberang jembatan, naik lagi, untuk kemudian turun lagi ke anak sungai yang lain... walah..

Jam 11, Wrendy nelpon. Ampun, ternyata saya lupa inform kami akan berangkat sangat pagi sehingga dia tidak bisa ikut.. Dia ternyata nungguin terus di kantor dan bertanya-tanya mengapa saya tidak turun-turun, baru akhirnya menyadari kami telah berangkat jam 8.. Next time ya Eng..

Sesuai janji dengan Pak Ijong, kami langsung ketemu di lokasi. Setelah memperkenalkan teman2, Pak Ijong meminta Abdoel, penunggu tanah pak Arifin untuk menemani kami berkeliling lokasi. Dan inilah kali pertama kami melihat dan mengelilingi keseluruhan lokasi.
Setelah diteliti, ternyata lokasi yang paling bawah adalah sebuah cekungan. Tapi sesudah mempertimbangkan kondisi keseluruhan, lokasi ini masih sangat memungkinkan untuk dimaksimalkan. Satu kondisi yang tidak menyenangkan adalah cekungan tentu saja menampung segala jenis limbah yang mengalir dari atas lereng, dan di bagian atas ada eks peternakan ayam. Berarti PR tambahan untuk menetralisir limbah peternakan agar kelak tanah cocok dipergunakan untuk pertanian organik.

Target selanjutnya adalah meyakinkan Pak Ijong untuk menerima proposal kami. Pertemuan awal dilakukan di rumah peristirahatan Pak Arifin. Karena sudah pertemuan yang ke sekian, saya langsung ke point inti, bahwa secara finansial kami lemah, dan kami ingin Pak Ijong membantu, kami ingin Pak Ijong menyatu dengan Project, dengan komunitas ini. Bahwa Project ini baru bisa jalan apabila kami nyicil tanah dia, karena kalaupun ada uang, uangnya akan kami pakai untuk infrastruktur. Bahwa kami akan mulai dengan taoge, bahwa tanah dia akan kami bayar dengan taoge yang dihasilkan, bahwa bila dia berkenan kami akan berikan dia taoge untuk dijual....
Pernahkah anda mendengar tentang orang membeli tanah bayar taoge? Dalam Karunia Yang Maha Kuasa, Pak Ijong bisa memahaminya. (Kok bisa ya?)..
Selanjutnya seperti kebiasaannya, transaksi harus dilakukan di dalam rumah, ga boleh di luar. Ga ngerti tuh apa alasannya? Jadi perlu ke rumah Pak Ijong. Tapi sebelumnya, kami menyampaikan bahwa kami akan terlebih dahulu naik mengunjungi pura, karena lebih sejalan.

Ini sudah kunjunganku yang kesekian kali ke pura Ciapus, yang berada tepat di bawah hutan lindung, sehingga sangat tenang, kusuk, Tapi kali ini kami datang di tengah siang terik, dan pura sangat ramai dengan pengunjung, jadi kami yang lain merasa kurang nyaman untuk naik ke pura karena akan mengganggu ibadah. Tapi tidak demikian untuk Jim yang baru berkunjung untuk pertama kalinya. Dia (yang memang sifat sejatinya seperti itu) tiada henti memotret dan merekam, juga minta dipotret, minta direkam, memotret diri sendiri, merekam diri sendiri, sambil bicara sendiri, dan pasti, sangat ingin naik ke pura tentu saja untuk potret. Tetapi yang lain enggan, karena toh kelak akan sangat sering untuk berkunjung kembali.

Turun dari pura kami ke tempat pak Ijong, dan semuanya lancar. Bukan hanya menyicil tanahnya sampai 2 tahun (seperti beli kulkas aja ya, ternyata Pak Ijong walau tinggal di desa cara kerjanya sama seperti pengusaha real estate di kota besar, cicilan tanpa beban bunga. KSTEST). Belum yang satu beres, Beliau sudah menyampaikan lagi dia punya banyak tanah lainnya. Ternyata tampang kami-kami ada aura kejujuran,...(terharu mode on). Intinya semuanya lancar. Kami juga minta lokasi sedikit dibersihkan, dirapihkan agar kondisi tanah bisa terlihat jelas saat kunjungan selanjutnya hari selasa depan.

Karena sudah kesorean, kami membatalkan kunjungan ke curug dan mengalihkan kunjungan ke Myogyo Ji, salah satu vihara induk bagi aliran nichiren (saya tidak paham yang mana). Ternyata di sana hari ini ada peresmian atau perayaan apa gitu untuk STAB Samantabadhra (kami perkirakan sebagai Sekolah Tinggi Agama Buddha, semoga ga salah ya). Di sana kami menjadi pengunjung gelap, ikut berapresiasi, terkagum-kagum dengan pertunjukkan kebudayaan yang disuguhkan. Salah satu yang terbaik adalah sekelompok wanita yang memukul gendang, diiringi gamelan oleh pria. Para wanita tidak hanya bermain gendang, tapi menyatukannya dengan tarian, ada bagian kemudian menari dengan memegang kipas.
yang saat digerak buka-tutupkan, mengeluarkan suara yang mengimbangi gamelan, mereka juga menari di atas gendang mereka..
Wualah Mak,.. tolong anakmu Mak, lagi nangis.
Menyaksikan mereka kami semakin yakin dengan visi Kampung Kasih, semakin tertantang bahwa harusnya kami pun bisa, semakin bertekad bulat bahwa Kampung Kasih adalah penting untuk membantu segala terobosan ke masa depan (Kok bisa ya...nantikanlah penjelasannya pada episode2 selanjutnya). Jim tentu saja melanjutkan memotret, dipotret, memotret dirinya sendiri...

Dengan ketidakhadiran Hui, berarti tidak ada diskusi tentang kelas 5 hari, tetapi tidak berarti makan siang menjelang sore kami ditiadakan. Tapi kami salah memilih resto (dear Prends: FYI, masakan Bakoel-bakoel, Bogor mengakibatkan kami yang semuanya vegetarian pada sakit perut karena kemungkinanmakananya kurang bersih untuk yang veggie. Mohon bantuannya agar lebih sering makan di sini, lebih sering ditatar, diberi tahu tentang apa itu veggie, Kong Te Wu Liang sebelumnya. Jangan kami yang nyobain mulu, sudah sakit perut, baru dear Prends berkunjung semua - (tolong himbauan ini ditanggapi dengan cerdas dan bijak!!!!! )).

Sambil makan, dan juga sepanjang perjalanan pulang, kami melakukan satu-satunya hal yang saat ini saya lakukan dengan bersemangat : "Membakar setiap orang dengan api kasih, agar segera mewujudkan Kampung Kasih."
Kami bercengkerama yang sebagian isinya seharusnya sensor.
Kami berbagi idealisme dan pandangan yang masih belum boleh diedarkan, karena belum mampu dicerna oleh khalayak ramai, berarti...... sensor.
Kami saling mengungkapkan berbagai strategi, melontarkan usul yang semuanya tentu saja confidential, jadi .. maaf .....sensor.

Tak sabar lagi menunggu the Founder of Kampung Kasih lengkap berkumpul,
yang masing2 datang dengan keunikan dan keahliannya yang berbeda,
apa yang akan bisa kami lakukan,
apa yang akan bisa kami hasilkan,
apa yang kami akan persembahkan,
apa yang akan kami wariskan,
semoga tidak mengecewakan..

Oh ya, tentang judul "Memahami sebelum dipahami"
adalah berkaitan dengan 'kemukjijatan' pak Ijong mensupport proposal kami.
ada lagu hokkian berbunyi ,"sha hun thi cu tia, Chi hun kho phak pia."
Kemukjijatan hari ini adalah sekian % Karunia Yang Maha Kuasa, dan sekian % yang lain karena sepenuhnya, setulus-tulusnya, berusaha "Memahami sebelum minta dipahami."

Dari berbagai tujuan yang mau dicapai hari ini:
1. Jim sekarang menjadi bingung: "Bogor or Jakarta??"
2. Lereng timur dari Gn Salak belum mampu ditelusuri, tapi jalan alternatif melalui daerah Cijeruk dapat dieliminasi.
3. Kunjungan ke Ciapus Myogyo Ji sangat tepat momen, kami belajar banyak sekali
4. Ga jadi ke curug, boro-boro Gunung Bunder
5. Pak Ijong. Thx ya....


Note: Lagu yang menjadi pembahasan dan lelucon hari ini liriknya adalah
"Mei You Chien Ni Huei Ai Wo Ma???
Cien Tan Te I Ci Hua"